Selasa, 19 September 2017

contoh cerpen singkat

Ucapan Terima Kasih Untuk Allah
Annisa Fitriani

Petang mulai datang. Matahari mulai menenggelamkan dirinya dibalik samudra. Ku langkahan kaki menuju sebuah gubuk yang sudah tua dan rapuh di seberang jalan besar. Ya, itulah rumahku. Rumah sederhana yang beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu.
“Assalamualaikum”
Ku buka pintu dan kulihat Ibuku yang mash diam terbaring di kursi panjang. Ku dekati dan kurasakan betapa lelah dirinya setelah seharian bekerja sebagai pembantu. Namun, dalam keadaan tidurnya pun, dia masih mengukir senyum manis di bibirnya. Kurasakan perih dalam dada, hingga tak terasa air mataku mulai berjatuhan bagai gerimis hari lalu. Betapa kuatnya seorang ibuku, membanting tulang untuk membiayai sekolahku dan memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Ku usap air mataku dan kubangunkan dia.
“Ibu.....” ku pegang dan ku usap punggung tangannya. Perlahan-lahan matanya mulai membuka sedikit demi sedikit seperti mekarnya bunga mawar di pagi hari.
“Udah pulang, Ra?” tanyanya ketika matanya telah membuka dengan sepenuhnya.
“Iya, Ibu. Ibu lelah ya? Mau aku pijat?” tanyaku sambil menggenggam erat tangan Ibu.
“Engga, Ibu hanya ketiduran. Rara udah makan?” tanya Ibu.
“Belum” jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya sudah. Ayo kita ke belakang! Kita makan sama=sama, kebetulan ibu juga belum” ajak Ibu.
Kami pun berjalan menuju dapur untuk makan bersama. Sungguh sangat enak masakan Ibu. Dan menurutku, makanan yang dimasak Ibuku rasanya lebih enak daripada makanan yang dimasak oleh orang lain di dunia ini. Usai makan, aku memulai pembicaraan.
“Bu?” tanyaku dengan rada takut.
“Iya kenapa, Rara?” jawabnya dengan nada lembut.
“Emm... begini, aku dipilih oleh bapak dan ibu guru untuk mengikuti sebuah perlombaan”
“Lomba apa itu, Ra?” tanyanya antusias.
“Lomba Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi”
“Lho, kok langsung tingkat provinsi, Ra?” tanya Ibu dengan heran. Maklumlah, karena setiap perlombaan pasti akan diseleksi dari tingkat terendah dulu. Ya, tingkat kecamatan ataupun tingkat kabupaten terlebih dahulu.
“Iya, Ibu, soalnya pemenang Olimpiade Matematika Tingkar Kabupaten kemarin mengalami kecelakaan. Kondisiya sekarang kritis. Jadi mau ngga mau, Rara yang harus nggantiin dia, Bu”
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Semoga dia cepat sembuh yah, Ra” respon Ibu dan tangan mengelus dada.
“Iya, Bu, amin. Tapi..”
“Tapi kenapa, Ra?”
“Aku kurang paham materi-materinya. Rumus-rumusnya pun ada yang lupa. Apa Ibu mau bantu aku belajar matematika?” tanyaku sambil memelas.
“Iya, Rara, Ibu pasti mau ngajarin anak semata wayang Ibu ini” jawabnya sembari mencubit hidungku.
“Terimakasih, Ibu” jawabku. Tanpa sadar langsung ku peluk Ibuku, dan ku cium pipinya.
****
Esok harinya, setiap pulang sekolah, aku diajar Ibu dalam pemahamanku mengenai materi sekaligus rumus-rumusnya. Kupilih Ibu karena Ibuku ketika remaja adalah anak yang rajin, bintang kelas, dan sering menjuarai berbagau perlombaan baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Prestasi tertinggi yang diraih oleh Ibuku adalah juara 3 Olimpiade Matematika Tingkat Internasional. Sungguh hebat bukan?
“Lho, Rara, kok ngelamun si? Katanya minta diajarin? Ini Ibu lagi ngejelasin kamunya malah ngelamun? Ngelamunin apa si, Ra?” tanya Ibu.
“Eh, engga ngelamunin apa-apa kok, Bu. Hanya pikiranku aja yang kurang fokus” jawabku.
“Lagi mikirin apa si, Ra?” tanya Ibu.
“Em.. gini, Bu, aku itu berfikir, kenapa ya Ibunya cerdas, kok anaknya nggakcerdas seperti Ibunya? Kaya aku gini lho, Bu”
“Rara sayang, semua anak itu terlahir memiliki bakat mereka masing-masing. Semuanya Allah yang atur. Jadi, untuk permasalahan cerdas atau tidaknya seorang anak itu tergantung oleh kemauan anak itu sendiri untuk mengembangkan bakat itu dan usaha orang tua yang mendidik anak tersebut menjadi anak yang baik dan cerdas. Jadi, kalau kamu Ra, kamu punya kecedasan dalam otak dan diri kamu. Akan tetapi kamu kurang berusaha untuk mengembangkan kecerdasanmu itu. Jadi saran Ibu, kamu harus lebih giat lagi dalam belajar. Memperbanyak ilmu itu harus dan wajib dicari untuk bekal kita di masa yang akan datang” jawab Ibu dengan panjang lebar. Tetapi amat teramat sangat bermanfaat untukku.
“Mungkin karena aku udah ngga punya Ayah, jadi semangatku ada yang kurang”
“Rara nggak boleh bicara seperti itu. Lahir, mati, nasib, takdir, dan jodoh itu sudah diatur oleh Allah SWT. Dan sekarang Ayahmu sudah tenang di sisi-Nya. Rara tau? Rencana Allah itu indah sekali. Dia mengambil ayahmu, karena Dia percaya sekaligus memberi amanah kepada Ibu untuk menjaga, merawat, dan membesarkanmu seorang diri. Ibu sebagai hamba-Nya pun ,erasa senag. Karena artinya Allah yakin bahwa Ibu mampu melewati semua ini. Manffat yang dapat Ibu peroleh pun sangat banyak. Ibu dilatih untuk senantiasa sabar, jujur, tegar, ikhlas, pantang menyerah, dan masih banyak lagi” jawab Ibu dengan penjelasannya yang begitu lembut dan menyayat hati.
“Iya, Ibu, maafkan aku” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“Engga papa, Rara, Ibu maklumi kok. Lain kali jangan bicara seperti itu lagi ya? Ya sudah, kita lanjutin belajarnya” ajak Ibuku.
“Iya, Ibu” jawabku menurut.
Begitulah kerukunan antara aku dengan Ibuku. Jika aku salah kata dan perbuatan, Ibu pasti akan menasehatiku panjang lebar seperti mencari luas persegi panjang.
“Oh iya, Ra, kalau Ibu boleh tahu, hadiah untuk lombanya itu apa?”
“Kalau enggak salah, uang sebanyak Rp 5.000.000 dan biaya renovas rumah”
“Alhamdulillah, semoga juara ya Ra, jadi uangnya nanti bisa untuk biaya sekolahmu dan rumah ini bisa segera direnovasi. Ibu kasihan kalau ngeliat kamu belajar pas lagi ujian, pasti buku kamu basah terkena air yang bocor dari genting”
“Iya, Ibu, doakan saja ya”
****
Tepat di hari H, aku berangkat ke Semarang untuk mengikuti lomba tersebut. Dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” aku mulai mengerjakan soal-soal tersebut. Ku kerjakan soal-soal yang kuanggap mudah terlebih dahulu. Di dalam hatiku, tak henti-hentinya aku bertasbih dan mengucapkan istighfar. Aku masih ingat pesan Ibu, jika kita dalam kesulitan, memintalah kemudahan kepada Allah SWT. Bersikap jujur adalah hal yang paling utama. Karena orag yang selalu bersikap jujur, akan diamin Allah untuk masuk surga.
Tak terasa 2 jam telah berlalu, hingga waktu pengerjaan soal habis dan lembar jawaban harus segera dikumpulka ke panitia lomba. Sembari menunggu pengumuman 10 siswa terbaik, ku langkahkan kaki menuju masjid terdekat, ku ambil air wudhu dan ku tunaikan sholat sunah 2 rokaat. Aku berdoa semoga hasil yang ku dapatkan memuaskan. Amin.
Peringkat 10 hingga peringkat 2 sudah disebutkan oleh panitia lomba. Namaku memag belum dipanggil. Tapi tak apalah, aku ikhlas.
“Peringkat 1 Lomba Matematika Tingkat Provinsi diraih oleh.....”
Semua orang mulai berharap nama mereka dipanggil sebagai peringkat 1. Begitupun juga aku. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa, semoga namaku yang akan dipanggil.
“Rara Dewi Larasati dari SMK Negeri 2 Boyolali”
Bagai petir di siang bolong. Namaku dipanggil? Aku lagusng histeris. Tangiskupun pecah. Keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Alhamdulillah, aku lagsung berjalan menaiki tangga menuju panggung dan kudapatkan piala, uang pembinaan, sekaligus biaya renovasi rumah. Sesegera mungkin kubawa semua itu ke rumah dan ku berikan kepada Ibuku tercinta.
****
Sesampainya di rumah, Ibu telah menungguku di teras. Aku berlari dan ku peluk erat tubuh Ibu. Tangis bahagia kami turun, aku dan Ibu kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mulai menceritakan semua yang aku lakukan ketika lomba hingga aku mendapatka juara. Aku bersyukur karena cerita yang ku sampaikan kepada Ibu mampu membuat tangis bahagia menjadi tawa bahagia.

Beberapa minggu kemudian, rumah kami selesai di renovasi. Atap, lantai, pagar, jendela, pintu, dan alat-alat lainnya sudah diganti menjadi alat-alat yang layak digunakan. Ini semua berkat kerja keras, semangat, doa, dan ridho dari Allah SWT. Terima kasih Ya Allah.