Ucapan Terima Kasih Untuk Allah
Annisa Fitriani
Petang mulai datang. Matahari mulai menenggelamkan
dirinya dibalik samudra. Ku langkahan kaki menuju sebuah gubuk yang sudah tua
dan rapuh di seberang jalan besar. Ya, itulah rumahku. Rumah sederhana yang
beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu.
“Assalamualaikum”
Ku buka pintu dan kulihat Ibuku yang mash diam terbaring
di kursi panjang. Ku dekati dan kurasakan betapa lelah dirinya setelah seharian
bekerja sebagai pembantu. Namun, dalam keadaan tidurnya pun, dia masih mengukir
senyum manis di bibirnya. Kurasakan perih dalam dada, hingga tak terasa air
mataku mulai berjatuhan bagai gerimis hari lalu. Betapa kuatnya seorang ibuku,
membanting tulang untuk membiayai sekolahku dan memenuhi kebutuhan sehari-hari
kami. Ku usap air mataku dan kubangunkan dia.
“Ibu.....” ku pegang dan ku usap punggung tangannya.
Perlahan-lahan matanya mulai membuka sedikit demi sedikit seperti mekarnya
bunga mawar di pagi hari.
“Udah pulang, Ra?” tanyanya ketika matanya telah membuka
dengan sepenuhnya.
“Iya, Ibu. Ibu lelah ya? Mau aku pijat?” tanyaku sambil
menggenggam erat tangan Ibu.
“Engga, Ibu hanya ketiduran. Rara udah makan?” tanya Ibu.
“Belum” jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya sudah. Ayo kita ke belakang! Kita makan sama=sama,
kebetulan ibu juga belum” ajak Ibu.
Kami pun berjalan menuju dapur untuk makan bersama.
Sungguh sangat enak masakan Ibu. Dan menurutku, makanan yang dimasak Ibuku
rasanya lebih enak daripada makanan yang dimasak oleh orang lain di dunia ini.
Usai makan, aku memulai pembicaraan.
“Bu?” tanyaku dengan rada takut.
“Iya kenapa, Rara?” jawabnya dengan nada lembut.
“Emm... begini, aku dipilih oleh bapak dan ibu guru untuk
mengikuti sebuah perlombaan”
“Lomba apa itu, Ra?” tanyanya antusias.
“Lomba Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi”
“Lho, kok langsung tingkat provinsi, Ra?” tanya Ibu
dengan heran. Maklumlah, karena setiap perlombaan pasti akan diseleksi dari
tingkat terendah dulu. Ya, tingkat kecamatan ataupun tingkat kabupaten terlebih
dahulu.
“Iya, Ibu, soalnya pemenang Olimpiade Matematika Tingkar
Kabupaten kemarin mengalami kecelakaan. Kondisiya sekarang kritis. Jadi mau
ngga mau, Rara yang harus nggantiin dia, Bu”
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Semoga dia cepat sembuh
yah, Ra” respon Ibu dan tangan mengelus dada.
“Iya, Bu, amin. Tapi..”
“Tapi kenapa, Ra?”
“Aku kurang paham materi-materinya. Rumus-rumusnya pun
ada yang lupa. Apa Ibu mau bantu aku belajar matematika?” tanyaku sambil
memelas.
“Iya, Rara, Ibu pasti mau ngajarin anak semata wayang Ibu
ini” jawabnya sembari mencubit hidungku.
“Terimakasih, Ibu” jawabku. Tanpa sadar langsung ku peluk
Ibuku, dan ku cium pipinya.
****
Esok harinya, setiap pulang sekolah, aku diajar Ibu dalam
pemahamanku mengenai materi sekaligus rumus-rumusnya. Kupilih Ibu karena Ibuku
ketika remaja adalah anak yang rajin, bintang kelas, dan sering menjuarai
berbagau perlombaan baik tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi.
Prestasi tertinggi yang diraih oleh Ibuku adalah juara 3 Olimpiade Matematika
Tingkat Internasional. Sungguh hebat bukan?
“Lho, Rara, kok ngelamun si? Katanya minta diajarin? Ini
Ibu lagi ngejelasin kamunya malah ngelamun? Ngelamunin apa si, Ra?” tanya Ibu.
“Eh, engga ngelamunin apa-apa kok, Bu. Hanya pikiranku
aja yang kurang fokus” jawabku.
“Lagi mikirin apa si, Ra?” tanya Ibu.
“Em.. gini, Bu, aku itu berfikir, kenapa ya Ibunya
cerdas, kok anaknya nggakcerdas seperti Ibunya? Kaya aku gini lho, Bu”
“Rara sayang, semua anak itu terlahir memiliki bakat
mereka masing-masing. Semuanya Allah yang atur. Jadi, untuk permasalahan cerdas
atau tidaknya seorang anak itu tergantung oleh kemauan anak itu sendiri untuk
mengembangkan bakat itu dan usaha orang tua yang mendidik anak tersebut menjadi
anak yang baik dan cerdas. Jadi, kalau kamu Ra, kamu punya kecedasan dalam otak
dan diri kamu. Akan tetapi kamu kurang berusaha untuk mengembangkan
kecerdasanmu itu. Jadi saran Ibu, kamu harus lebih giat lagi dalam belajar.
Memperbanyak ilmu itu harus dan wajib dicari untuk bekal kita di masa yang akan
datang” jawab Ibu dengan panjang lebar. Tetapi amat teramat sangat bermanfaat
untukku.
“Mungkin karena aku udah ngga punya Ayah, jadi semangatku
ada yang kurang”
“Rara nggak boleh bicara seperti itu. Lahir, mati, nasib,
takdir, dan jodoh itu sudah diatur oleh Allah SWT. Dan sekarang Ayahmu sudah
tenang di sisi-Nya. Rara tau? Rencana Allah itu indah sekali. Dia mengambil
ayahmu, karena Dia percaya sekaligus memberi amanah kepada Ibu untuk menjaga,
merawat, dan membesarkanmu seorang diri. Ibu sebagai hamba-Nya pun ,erasa
senag. Karena artinya Allah yakin bahwa Ibu mampu melewati semua ini. Manffat
yang dapat Ibu peroleh pun sangat banyak. Ibu dilatih untuk senantiasa sabar,
jujur, tegar, ikhlas, pantang menyerah, dan masih banyak lagi” jawab Ibu dengan
penjelasannya yang begitu lembut dan menyayat hati.
“Iya, Ibu, maafkan aku” jawabku dengan penuh rasa
bersalah.
“Engga papa, Rara, Ibu maklumi kok. Lain kali jangan
bicara seperti itu lagi ya? Ya sudah, kita lanjutin belajarnya” ajak Ibuku.
“Iya, Ibu” jawabku menurut.
Begitulah kerukunan antara aku dengan Ibuku. Jika aku
salah kata dan perbuatan, Ibu pasti akan menasehatiku panjang lebar seperti
mencari luas persegi panjang.
“Oh iya, Ra, kalau Ibu boleh tahu, hadiah untuk lombanya
itu apa?”
“Kalau enggak salah, uang sebanyak Rp 5.000.000 dan biaya
renovas rumah”
“Alhamdulillah, semoga juara ya Ra, jadi uangnya nanti
bisa untuk biaya sekolahmu dan rumah ini bisa segera direnovasi. Ibu kasihan kalau
ngeliat kamu belajar pas lagi ujian, pasti buku kamu basah terkena air yang
bocor dari genting”
“Iya, Ibu, doakan saja ya”
****
Tepat di hari H, aku berangkat ke Semarang untuk
mengikuti lomba tersebut. Dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” aku mulai
mengerjakan soal-soal tersebut. Ku kerjakan soal-soal yang kuanggap mudah
terlebih dahulu. Di dalam hatiku, tak henti-hentinya aku bertasbih dan
mengucapkan istighfar. Aku masih ingat pesan Ibu, jika kita dalam kesulitan,
memintalah kemudahan kepada Allah SWT. Bersikap jujur adalah hal yang paling
utama. Karena orag yang selalu bersikap jujur, akan diamin Allah untuk masuk
surga.
Tak terasa 2 jam telah berlalu, hingga waktu pengerjaan
soal habis dan lembar jawaban harus segera dikumpulka ke panitia lomba. Sembari
menunggu pengumuman 10 siswa terbaik, ku langkahkan kaki menuju masjid
terdekat, ku ambil air wudhu dan ku tunaikan sholat sunah 2 rokaat. Aku berdoa
semoga hasil yang ku dapatkan memuaskan. Amin.
Peringkat 10 hingga peringkat 2 sudah disebutkan oleh
panitia lomba. Namaku memag belum dipanggil. Tapi tak apalah, aku ikhlas.
“Peringkat 1 Lomba Matematika Tingkat Provinsi diraih
oleh.....”
Semua orang mulai berharap nama mereka dipanggil sebagai
peringkat 1. Begitupun juga aku. Aku terus berdoa, berdoa, dan berdoa, semoga
namaku yang akan dipanggil.
“Rara Dewi Larasati dari SMK Negeri 2 Boyolali”
Bagai petir di siang bolong. Namaku dipanggil? Aku
lagusng histeris. Tangiskupun pecah. Keberuntungan sedang berpihak kepadaku.
Alhamdulillah, aku lagsung berjalan menaiki tangga menuju panggung dan
kudapatkan piala, uang pembinaan, sekaligus biaya renovasi rumah. Sesegera
mungkin kubawa semua itu ke rumah dan ku berikan kepada Ibuku tercinta.
****
Sesampainya di rumah, Ibu telah menungguku di teras. Aku
berlari dan ku peluk erat tubuh Ibu. Tangis bahagia kami turun, aku dan Ibu
kemudian masuk ke dalam rumah. Aku mulai menceritakan semua yang aku lakukan
ketika lomba hingga aku mendapatka juara. Aku bersyukur karena cerita yang ku
sampaikan kepada Ibu mampu membuat tangis bahagia menjadi tawa bahagia.
Beberapa minggu kemudian, rumah kami selesai di renovasi.
Atap, lantai, pagar, jendela, pintu, dan alat-alat lainnya sudah diganti
menjadi alat-alat yang layak digunakan. Ini semua berkat kerja keras, semangat,
doa, dan ridho dari Allah SWT. Terima kasih Ya Allah.